Jumat, 22 Juni 2007

Hasan Al Bana Dan Ikhwanul Muslim

Dunia Islam khususnya di Mesir pada sekitar pertengahan abad dua puluh mempunyai tokoh kharismatis yang memperjuangkan Islam melalui sebuah tradisi penegakkan Islam melalui keluarga (al-usrah). Kelompok-kelompok usroh inilah yang dikenal dengan nama gerakan ikhwanul Muslimin, sedangkan tokohnya adalah Hasan Al-Banna. Gerakan ini menekankan pada aspek penegakkan syariat Islam dengan penuh keyakinan dan keikhlasan dibandingkan pada perkembangan pemikiran Islam modern.
Ketika Ikhwanul Muslimin didirikan tahun 1928, pada saat itu Hasan Al-Bana baru berusia 22 tahun yang bekerja sebagai seorang guru. Gerakan ini merupakan gerakan paling berpengaruh pada abad dua puluh yang mengarahkan kembali masyarakat Muslim ke tatanan Islam Murni. Hasan Al-Banna dalam gerakannya untuk mengubah mode intelektual elite menjadi gejala popular yang kuat pengaruhnya pada interaksi antara agama dan politik, bukan saja di Mesir, namun juga di dunia Arab dan Muslim.
Hasan Al-Banna merupakan tokoh kharismatis yang begitu dicintai oleh pengikutnya. Cara memimpin jamaahnya bagai seorang syaikh sufi memimpin tarekatnya. Banna dalam segi gerakan sangat memperhatikan fungsi setiap komponen organisasi. Unit terkecil yakni usrah (keluarga) menurutnya memiliki tiga tiang. Yang pertama adalah saling kenal, yang akan menjamin persatuan. Kedua, anggota usroh harus saling memahami satu sama lain, dengan saling menasehati. Dan yang ketiga adalah memperlihatkan solidaritas dengan saling membantu. Bagi Hasan Al-Banna al-usroh merupakan mikrokosmos masyarakat Muslim ideal, di mana sikap orang beriman terhadap satu sama lain seperti saudara, dan sama-sama berupaya meningkatkan segi religius, sosial, dan kultural kehidupan mereka.
Pemikiran Hasan Al-Bana ini tidak terlepas dari kehidupan masa kecilnya. Banna dibesarkan di kota delta Mesir, Mahmudiah. Ayahnya, selain tukang reparasi jam, yang juga ulama. Pada umumnya masyarakat Mesir, Banna mengikuti jejak ayahnya. Banna belajar mereparasi jam, dan mendapat pendidikan agama dasar. Ketika berumur dua belas tahun ia masuk sekolah dasar negeri. Pada saat itu juga ia mengikuti kelompok Islam, Himpunan Perilaku Bermoral. Yang menekankan kewajiban kepada anggotanya untuk mengikuti Islam dengan seksama dan menjatuhkan hukum kepada yang melanggar. Banna pada saat itu juga mengikuti Himpunan Pencegah Kemungkaran yang menekankan agar menjalankan ritual dan moralitas Islam sepenuhnya, dan mengirimkan surat ancaman kepada yang ketahuan melanggar standar Islam. Dan pada usia tiga belas tahun ia mengikuti tarekat sufi Hasafiyah, yang kemudian banyak mempengaruhi dirinya.
Pada 1923 Banna pergi ke Kairo, untuk masuk Dar Al-‘Ulum sekolah tinggi guru Mesir. Selama lima tahun di kota ini ia langsung mengalami westernisasi kultural Mesir, yang bagi dia merupakan ateisme dan ketakbermoralan. Banna juga memprihatinkan melihat usaha Mustafa Kemal Ataturk untuk menghapus kekhalifahan dan program Kemal untuk mensekularkan Turki. Gerakan di Mesir yang mendirikan universitas negeri sekular pada 1925, menurut Banna merupakan langkah pertama meniru Turki mencampakkan Islam. Dia juga memandang dengan prihatin banjir artikel koran dan buku yang mempromosikan nilai sekular Barat.
Hal inilah yang membuat Banna prihatin. Untuk mewujudkan visi Islam sejati dan meluncurkan perjuangan melawan dominasi asing, ia mendirikan Ikwanul Muslimin pada bulan Maret 1928. Seiring dengan perkembangan Ikhwanul Muslimin yang pesat, Banna mengembangkan struktur administrasi yang memungkinkan Banna memegang kendali kuat. Selama sepuluh tahun berikutnya, Ikhwan menerbitkan persnya sendiri, berkalanya sendiri dan program budayanya sendiri.
Kian besarnya organisasi ini membawa Banna terlibat dalam politik nasional. Pada 1936, Banna menulis surat kepada raja, perdana menteri, dan penguasa Arab lainnya, agar mempromosikan tatanan Islam. Kemudian Hasan Al-Banna juga menyerukan untuk membubarkan partai-partai politik di Mesir, karena partai-partai itu korupsi dan berdampak memecah-belah negara. Setelah perang, Ikhwan berperan penting dalam kampanye yang dilancarkan berbagai kelompok di Mesir menentang pendudukan Inggeris. Pada Desember 1948, seorang anggota Ikhwan membunuh perdana menteri. Pihak berwenang Mesir menyerang balik : beberapa anggota polisi rahasia membunuh Hasan Al-Banna pada 12 Februari 1949.
Hasan Al-Banna dengan segala kegigihannya telah berjuang untuk menegakkan tatanan Islam. Hasan Al-Bana merupakan figur yang dengan keikhlasannya telah memperjuangkan nilai-nilai Islam. Usahanya yang tak kenal lelah dalam membangun masyarakat muslim yang berawal keluarga dapat menjadi contoh kita membuat gerakan dakwah melalui tatanan sosial yang paling kecil itu.(Pub.Net)

CINTA TUHAN DI TEMPAT MATAHARI TERBIT



CINTA TUHAN DI TEMPAT MATAHARI TERBIT (2)
Tariqat-Qadariah-Naqsyabandiah
(Budy Munawar Rahman & AA Ismail)


Perkembangan tasauf dan tarekat di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
pesantren. Keduanya bagaikan ikan dengan air. Tetapi tidak semua pesantren
menjadi pusat pengembangan tarekat. Di Jawa, hanya ada empat pesantren yang
tergolong sebagai pusat perkembangan tarekat, satu diantaranya PP Suryalaya,
yang artinya "tempat matahari terbit". Sebuah pesantren di Kampung Godebag,
Tasikmalaya, Jawa Barat, yang sudah berumur lebih dari 90 th.

Pesantren yang didirikan oleh Syeh Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad,
bergelar Mbah Sepuh, sejak berdiri memang diarahkan menjadi pusat
pengembangan Tariqat Qadiriah dan Naqsyabandiah. Dua buah tarekat ini pada
penghujung abad XX banyak diamalkan di Turki, Pakistan, Malaysia dan
Indonesia. Keduanya adalah tarekat mu'tabarah, yakni tarekat yang diakui
kebenarannya bersumber dari Quran dan Hadis.

Kata "tarekat" berasal dari bahasa Al-Quran, "thariqah", yang berarti jalan,
cara, metode. Ynag dimaksud di sini adalah metode/jalan mendekatkan diri
kepada Allah- taqarub ila Allah -- berupa amalan yang ditentukan dan
dicontohkan Rasulullah saw dan dikerjakan oleh para sahabat dan tabiin, dan
diturunkan secara turun temurun sampai pada guru-guru tarikat. Transmisi
rohaniah guru tarekat kepada guru yang lebih muda disebut "silsilah
tarekat". Sedangkan guru tarekat disebut "mursyid" yaitu orang yang mendapat
amanat untuk membimbing murid-murid dalam mendekatkan diri kepada Allah,
setelah mendapat ijazah atau "hirqah shufiah".

Tarekat adalah "the inner and asetoric dimension of Islam", suatu istilah
yang berpadanan dengan perkataan "al-bawathin" dalam literatur tasauf bahasa
Arab. Istilah ini sering dpertentangkan dengan "al-syari'ah" yang merupakan
dimensi luar ajaran Islam, yang sering disebut "al-zhawahir". kedua istilah
ini berarti jalan. namun thariqah berarti jalan kecil, sedang syari'ah
berarti jalan besar. Dua jalan ini harus dilalui dengan baik, dengan
mengamalkan keduanya secara seimbang agar ibadah benar-benar paripurna,
lahir dan batin.

Di PP Suryalaya, sejak masa Abah Sepuh hingga masa Abah Anom -- panggilan
akrab KHA Shahibullah Wafa Tajul Arifin, sesepuh pesantren -- sejal tahun
1956 sampai sekarang yangmenjadi amalan utama adalah dzikrullah: yaitu
dzikir kepada Allah dengan mengucapkan "laa ilaaha illallah", setiap
sembahyang minimal 165 kali. Namun diluar waktu sembahyangwajib pun tidak
dilarangm bahkan dianjurkan, terutama bagi mereka yang sedang mabuk, atau
hilang ingatan karena kecanduan narkotika. Dzikir yang satu ini disebut
"dzikr jahr", yakni dzikr yang diucapkan dengan suara keras. Sebaliknya
adalah "dzikr khafi", yaitu dzikr yang cukup diingat dalm hati.

Tarekat dzikir pertama (dzikir jahr) lazim deisebut tarekat Qadiriah,
sedangkan tarekat yang kedua (dzikir khafi) terkenal dengan Tarekat
Naqsyabandiah. Tarekat pertama dinisbahkan kepada seorang mursyid abad 12 M,
Syekh Abdul Qadir Jailani (w.1166 M), yang berada disilsilah no 19 dalam
Tarekat Qadiriah, setelah Imam Musa al-Kazhim, Ja'far as-Shadiq, Muhammad
al-Baqir, Zainal Abidin, Husain b Ali, Ali b Abi Thalib. Sementara yang
menduduki peringkat pertama adalah Rasulullah saw. sendiri. Nama-nama
mursyid tersebut hampir semuanya berasal dari ahl bait.
Sebenarnya bukan Syekh Abdul Qadir Jailani yang meberi nama tarekat dzikir
ini dengan namanya sendiri, tetapi seorang murid beliau yang paling dekat,
bahakn kemudian menjadi mursyid tarekat ini, yaitu Syekh Abdul Aziz ,
mursyid Qadiriah ke 20.

Nama tarekat ini tampaknya tidak begitu dipersoalkan oelh pihak pondok. yang
dipentingkan adalah amalan yang konseisten. Satu hal yang perlu dicatat
adalah bahwa tarekat ini sejak masa Syekh Abdul Aziz sampai masa KHA
Shahibul Wafa Tajul Arifin yang merupakan mursyid ke 37, tidak akan diganti
nama lain. Nama Qadiriah akan terus diabadikan, sebagai penghormatan
murid-murid tarekat ini kepada A. Qadir Jailani -- seorang yang dapat gelar
sulthan al-awliya, raja para kekasih Allah.

Adapun dzikir khafi mengacu pada pengamalan tarekat Naqsyabandiah, yaitu
tarekat yang dinisbahkan kepada Syekh Muhammad Buhauddin naqsyabandi
al-Uwaisi al-Bukhari (1296-1370 M) dari Bukhara, Soviet (dulu)

Di Suryalaya kedua tarekat ini dipadukan secara harmonis mejadi satu amalan
yang serasi, yaitu pengamalan dzikir jahr (tarekat Qadiriah) dan pengamalan
dzikr khafi (tarekat Naqsyabandiah). Tujuan kedua pengamalan mencakupdalam
sebaris doa yang selalu diucapkan oelh ikhwan (anggota persaudaran tarekat)
Suryalaya, yang berbunyi, "ilahi anta maqshudi wa ridhaka mathlubi a'thini
mahabbataka wa ma'rifataka" ( Ya Tuhanku, hanya Engkau-lah yang kumaksud,
dan keridhaan-Mu yang kucari. berilah kemampuan untuk bisa mencintai-Mu dan
ma'rifat kepadamu).